Martutu aek adalah pembaptisan, pada tradisi Batak kuno,
dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh
hari) dengan membawanya ke homban (mata air di tengah ladang).
Upacara ritual ini dimulai dengan doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan
kepada Mulajadi na Bolon. Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos
ragi idup di atas pasir. Lalu Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke
dalam cawan yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi
si bayi tersebut berada di dalam badan.
Setelah itu, bayi yang hendak diberi nama dimandikan di mata air. Ulu
Punguan lalu menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan menguras bayi tersebut
degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan minyak
kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut pisau Solam Debata yang
dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon kepada Mulajadi
Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain putih tersebut
diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi agar mereka di
kemudian hari jauh dari marabahaya.
Sumber lain, Negeri Bakara, mengatakan bahwa bila bayinya
laki-laki turut dibawa hujur (tombak) sebagai simbol laki-laki, jika
perempuan turut dibawa baliga (perkakas tenun berbentuk seperti sisir)
sebagai simbol perempuan. Dan saat Datu menciduk air dan memandikan bayi
tersebut, dengan diiringi tangis bayi, diucapkanlah oleh Datu: “sai lam
tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai
suara anak dan boru di masa mendatang) maksudnya sebagai pengharapan
agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik laki-laki dan perempuan.
Bayi kemudian dibawa kembali ke rumah, dilanjutkan dengan acara
pemberian nama. Pemberian nama dipertimbangkan dengan cermat, karena Suku Batak meyakini
nama dan tondi harus sejalan. Jika mambuat goar ni Ompu atau mengambil
nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat
persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah
mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka syahlah nama anak
tersebut, dilanjut makan bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan
syukur.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh
nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Toba harus melakukan
berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek.
Martutu Aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan
bayi pada Mulajadi Nabolon dan meminta agar bayi itu disucikannya.
Setelah Kristen masuk ke Tanah Batak, Adat Martutu Aek ini kemudian
menjadi sama dengan baptisan Kristen (Tardidi atau Pandidion) yang
dilaksanakan di gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada si
Bayi atau anak.
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Loisenews
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
0 komentar:
Post a Comment