“Ulos Batak”, dikenal sebagai Jati diri orang Batak sesuai Budaya dan Adatnya
Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos
adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya
disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian
bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Jenis Ulos Batak
1. Ulos Ragi Hidup
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos
ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat
pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut
sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar
ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
3. Ulos Sadum
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok
dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya
dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat
Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini
dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang
burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
4. Ulos Runjat
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang
sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos
ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut
versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh
Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin),
dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan
pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni
roha).
5. Ulos Jugia
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita.
Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya
menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang
putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak
dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari
jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni
ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang
warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena
ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini
dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah
sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai
sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk
sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai
ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini
dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat
diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga
dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu
karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe
bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan
sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan
kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai
ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak
akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya
seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian
sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi
kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu
upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai
sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila
mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Ulos Bintang Maratur
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang
yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia
dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan”
(kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya
berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari
dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai
sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan
ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Ulos Sitoluntuho-Bolean
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang
wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang
anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai
sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos
panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung
keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer
tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang
tanah guna menanam benih.
Dan masih banyak lagi ulos yang belum disebutin 1 persatu.
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Loisenews
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
0 komentar:
Post a Comment